Sosok.ID- Mat Kanon, seorang petani yang pernah menjadi penari kepercayaan Bung Karno.
Saat masih muda, pria bernama asli Rahmat Basroil ini sering ikut lawatan Bung Karno ke luar negeri.
Ia bersama kawan-kawannya menari tarian Jawa Klasik hingga Wayang Orang untuk membawa misi kebudayaan.
"Seperti pesan Bung Karno, saya masih ingin melihat anak-anak sekarang tidak lupa dengan budayanya sendiri.
Negara ini akan dihormati dunia kalau rakyatnya masih menjunjung tinggi budayanya," ungkap Mat Kanon, mengutip Kompas.com,Jumat (21/9/2019).
Mat Kanon mengaku mengingat pesan yang disampaikan langsung oleh Presiden pertama RI, Soekarno, kepadanya sekitar tahun 1964 silam.
Baca Juga: Profil Tim Merah, Paskibraka yang Bertugas Kibarkan Bendera Pusaka pada Upacara HUT NKRI ke-74
Pesan tersebut adalah "Kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya."
Ungkapan bahasa Jawa itu kurang lebih bermakna "tingginya derajat bangsa terletak pada budayanya".
Belajar tari sejak SR dan kaki terkena granat
Mat Kanon menggeluti seni tari sejak Sekolah Rakyat (SR) setara SD.
Kala itu, dia sering melihat pertunjukan wayang orang di kampung-kampung.
Ia kemudian belajar sendiri hingga bertemu dengan guru tari dan ikut menari dari kampung ke kampung.
Baca Juga: Jusuf Kalla Kerap Tidak Mengangkat Tangan Saat Pengibaran Bendera, Salah Atau Benar?
Namun, kemauan Mat Kanon untuk menari ditentang keras oleh kakeknya yang religius. Sang kakek ingin cucunya belajar agama ke pesantren.
Ia menolak dan tetap menekuni seni tari.
Ia memilih meninggalkan rumah untuk belajar tari.
"Saya minggat (kabur) dari rumah.
Pergi ke Gunung Kidul, hidup seadanya di gunung, tapi tetap menari.
Sampai suatu hari ikut lomba di Semarang dan menang juara 1.
Setelah menang itu saya ketemu guru tari lagi dan diajari," katanya.
Setelah dari Semarang, dia pergi ke Purwokerto bersama guru tari barunya.
Di sana dia kemudian dipercaya untuk menari di hadapan Presiden Soekarno saat upacara kenegaraan di Purwokerto.
Sejak saat itu, dia diajak Bung Karno untuk menari di hadapan tamu-tamu negara ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan beberapa negara lainnya.
Setelah mengabdi pada Bung Karno, Mat Kanon memilih untuk mengajar tari dan sempat mengajar tari di Jerman walau sebentar.
Nama Mat Kanon disematkan padanya karena ada bekas luka di kaki karena terkena granat (canon) penjajah saat dia masih kecil.
Baca Juga: Sejarah Pembentukan Paskibraka, Pasukan yang Berjuang Kibarkan Bendera Pusaka di Istana Negara
Usia Mat Kanon sudah 70 tahunan.
Namun, ia masih tetap semangat untuk menari.
Pada tahun 2018, Mat Kanon masih melatih anak-anak muda menari Jawa Klasik dan Wayang Orang di sekitar tempat tinggalnya di Dusun Bulu, Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Mereka juga berlatih di sanggar milik milik seorang pecinta seni budaya, Tri Yudho Purwoko (Pur) Kakek 13 cucu tersebut mengaku bertahan dengan tarian tersebut agar pakem tari Jawa Klasik tidak punah.
"Saya bersyukur ada Pak Pur yang peduli dengan seni dan budaya. Selama ini saya jarang dibayar, tapi di sini saya mendapat upah tiap bulan," ungkap Mat Kanon, yang sehari-sehari juga bekerja sebagai petani.
Upah dari latihan tari di sanggar, ia kumpulkan untuk membangun pendopo di depan rumahnya.
Di pendopo itu lah ia melatih menari anak-anak di sekitarnya.
Ia juga mendapat bantuan dari sukarelawan yang peduli dengan kelestarian Tari Jawa Klasik.
Tri Yudho Purwoko tidak hanya menyediakan tempat untuk menari, namun dia juga menyediakan studio musik yang lengkap dengan alat musik hingga galeri seni rupa.
Ia mengaku mengapresiasi Mat Kanon yang masih bersedia menggeluti tari jawa tradisional meski di usia senja.
"Siapapun boleh berlatih menari di sini, gratis, saya sediakan ruangan di rumah saya," jelas Pur.
(Ika Fitriana/Rachmawati)
(*)