Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Menjadi Saksi Ganasnya Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Wanita Eropa Ini Merinding Disuguhi Tontonan Mengerikan

Seto Ajinugroho - Rabu, 16 Oktober 2019 | 13:17
Menjadi Saksi Ganasnya Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Wanita Eropa Ini Merinding Disuguhi Tontonan Mengerikan
Charles Hose/Tropenmuseum

Menjadi Saksi Ganasnya Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Wanita Eropa Ini Merinding Disuguhi Tontonan Mengerikan

Sosok.ID—Di dunia ini masih ada suku yang mempertahankan kebudayaan ditengah gempuran modernisasi abad.

Walau tak bisa dipungkiri terkadang kebudayaan mereka berbenturan dengan norma kehidupan masa kini.

Seperti yang dikisahkan oleh wanita dari Eropa bernama Ida Pfieffer saat berkunjung ke Kalimantan.

"Kami menjumpai laut yang tidak lucu,” ungkap Ida Pfieffer dalam catatan perjalannya di Borneo pada Januari 1852. “Dia mengirimkan ombak yang menyapu kami, sehingga separuh perahu terisi air.”

Setelah berjuang beberapa jam, akhirnya mereka mendapatkan aliran sungai yang tenang. Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar, Sarawak.

Tujuan pertama mereka adalah sebuah benteng di Skrang, yang lokasinya sembilan jam dari tempat mereka berada saat itu. Komandan Alan Lee, menyambut kedatangan mereka. Dalam catatannya, Ida berkisah, benteng itu terbuat dari kayu dan berdinding pagar dari tanah. Ada sekitar 30 orang pribumi yang menjadi serdadu.

“Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”
Kedatangan Ida menjadi tontontan lantaran bagi warga pedalaman Borneo, tampaknya dia merupakan sosok aneh bagi mereka. Dialah perempuan kulit putih pertama yang mereka lihat. Pada kenyataannya memang demikian, Ida Pfeiffer memang perempuan Eropa pertama yang menjelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock. Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee. “Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter. Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya. “Saya berminat membelinya apabila ada diantara mereka yang menjualnya.” Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.

Baca Juga: 6 Fakta Seorang Sniper, Kotorannya Harus Ia Bawa Kesana Kemari Ketika Berada di Medan Perang

Seorang Dayak pemburu kepala di Borneo sekitar 1900-1912. Setiap satu atau dua tahun sekali the Dayak Iban menyelenggarakan adat Gawai Autu untuk menghormati arwah leluhur yang dipercaya berada disekeliling kepala yang tergantung di rumah mereka. Dalam upacara adat itu mereka berharap mendapatkan berkah dan keberuntungan.

Seorang Dayak pemburu kepala di Borneo sekitar 1900-1912. Setiap satu atau dua tahun sekali the Dayak Iban menyelenggarakan adat Gawai Autu untuk menghormati arwah leluhur yang dipercaya berada disekeliling kepala yang tergantung di rumah mereka. Dalam upacara adat itu mereka berharap mendapatkan berkah dan keberuntungan.

Ida berkisah tentang orang-orang Dayak pada masa itu—yang barangkali tak jauh berbeda dengan budaya mereka kini. Leher dan dada para lelakinya berhiaskan manik-manik kaca, kerang, dan gigi beruang madu. Pergelangan lengan dan kaki berhiaskan gelang kuningan. Kuping mereka ditindik, dan kadang berhias selusin lebih gelang. “Beberapa dari mereka mengenakan gelang yang bertatakan kerang putih yang bernilai lebih,” ungkapnya. “Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan. Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik. Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam. “Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”
Pada hari yang sama, dia juga berkunjung ke tetangga desa Dayak tadi. Tidak banyak perbedaan soal tata busana mereka. “Kecuali, saya punya kesenangan baru di sini,” ujarnya, “melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Baca Juga: Dikira Hanya Menitipkan Baju, Nenek Ini Tak Sadar Ada Bom Berdaya Ledak Tinggi di Rumahnya, Sempat Ditaruh Sembarangan Hingga Densus 88 Datang

Source : National Geographic

Editor : Sosok

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x